Panjang Djimat CIREBON
UPACARA pelal Panjang Jimat sendiri merupakan puncak dari seluruh
rangkaian berbagai acara tradisi yang berlangsung di Keraton Kesultanan
Kasepuhan, Keraton Kesultanan Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Pelal
adalah kata dalam bahasa Jawa Cirebon yang berarti ujung atau akhir.
Seperti
daerah lainnya di Pulau Jawa yang memiliki akar budaya tradisi di
keraton, peringatan Muludan di Cirebon juga digelar secara meriah sejak
sebulan sebelumnya dalam bentuk pesta rakyat dan pasar malam di
alun-alun setiap keraton.
PUNCAK dari seluruh rangkaian acara
tersebut adalah upacara pelal Panjang Jimat yang diselenggarakan
langsung oleh kerabat utama keraton dan dipimpin oleh sultan masing-
masing.
Bagi yang pertama kali mendengar mengenai ritual Panjang
Jimat ini pasti menduga upacara tersebut melibatkan sebuah jimat atau
pusaka milik keraton yang ukurannya panjang. Mungkin senjata sejenis
tombak atau semacamnya yang terlintas di kepala.
Padahal,
sesungguhnya ritual Panjang Jimat sama sekali tidak berhubungan dengan
pusaka atau jimat apa pun, apalagi yang berbentuk gaman atau senjata.
Dari
seluruh prosesi iring- iringan ritual tersebut, tidak satu pun
perangkat upacaranya berupa senjata pusaka, melainkan berbagai jenis
makanan, makanan kecil, dan minuman.
Penguasa Kesultanan Kasepuhan,
Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, menjelaskan, nama Panjang Jimat
terdiri atas dua kata, yakni "panjang" yang artinya terus-menerus tanpa
terputus dan "jimat" yang merupakan akronim dalam bahasa Jawa: siji kang
dirumat (satu yang dipelihara).
Menurut Sultan Sepuh, jimat yang
dimaksud adalah dua kalimat syahadat yang menjadi pegangan utama umat
Muslim sedunia. "Jadi, makna Panjang Jimat adalah pesan kepada setiap
umat Islam untuk selalu berpegang kepada dua kalimat syahadat selamanya,
terus-menerus tanpa terputus," papar Sultan Maulana Pakuningrat.
PELAKSANAAN
puncak upacara Panjang Jimat sendiri dimulai sekitar pukul 20.00 dan
dilangsungkan di Bangsal Panembahan dan Bangsal Prabayaksa, dua ruang
utama Keraton Kasepuhan.
Di Bangsal Panembahan yang merupakan ruangan
paling sakral di keraton, para ulama dan kyai berdoa. Sementara Bangsal
Prabayaksa adalah tempat Sultan dan seluruh keluarganya serta para tamu
undangan mengikuti upacara.
Di Bangsal Prabayaksa itu, Sultan Sepuh
menyerahkan Payung Agung Kesultanan Kasepuhan kepada Putra Mahkota
Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat sebagai simbol penyerahan
wewenang dan tanggung jawab untuk memimpin seluruh prosesi iring-iringan
upacara, dari Bangsal Prabayaksa menuju Langgar Agung di halaman depan
keraton.
Setelah payung kebesaran diserahkan, satu demi satu
perlengkapan upacara dikeluarkan dari Keputren dan Bangsal Pringgadani
untuk disemayamkan sejenak di Bangsal Prabayaksa sebelum dibawa dalam
sebuah prosesi menuju Langgar Agung.
Di Keraton Kasepuhan, prosesi
Panjang Jimat terdiri atas sembilan kelompok, yang masing-masing
memiliki makna tersendiri berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kelompok pertama terdiri atas para punggawa dan pengawal keraton yang membawa obor serta payung.
Kelompok
pertama ini menggambarkan kesiapan Abdul Mutholib, kakek Nabi Muhammad
SAW, yang siap siaga menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Obor
melambangkan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada malam hari.
Kelompok
kedua adalah kelompok perangkat upacara yang membawa manggaran, nagan,
dan jantungan (semacam hiasan upacara terbuat dari logam berwarna
keemasan, berbentuk seperti manggar atau tangkai bunga kelapa, ular
naga, dan jantung pisang).
Perangkat upacara tersebut menggambarkan
kebesaran dan keagungan bayi yang hendak lahir. Dalam kelompok kedua
juga terdapat pembawa air mawar dan pasatan (sedekah) yang melambangkan
kelahiran seorang bayi selalu didahului pecahnya air ketuban dan
disyukuri dengan memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.
Kelompok
ketiga terdiri atas Putra Mahkota yang mewakili sultan dengan dinaungi
Payung Agung Keraton dan diiringi para sesepuh keraton.
Kelompok ini menyimbolkan bayi yang baru lahir dan kelak akan menjadi seorang pemimpin besar.
Selanjutnya
disusul kelompok keempat yang dipimpin oleh Kyai Penghulu dan rombongan
pembawa kembang goyang yang melambangkan keluarnya ari-ari sebagai
pengiring kelahiran dan boreh atau sejenis jamu yang diberikan kepada
ibu yang baru melahirkan guna menjaga kesehatannya. Kelompok ini juga
diiringi tujuh pembawa nasi rasul panjang jimat, yaitu nasi yang
diwadahi dalam bakul-bakul dan ditutupi menggunakan kain mori putih.
Bilangan tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu.
Kelompok
keempat disusul kelompok kelima yang membawa sepasang guci yang berisi
minuman serbat. Minuman tersebut melambangkan darah sebagai tanda bahwa
kelahiran telah usai.
Di belakangnya menyusul kelompok keenam yang membawa empat baki berisi botol-botol minuman serbat.
Angka empat melambangkan bahwa manusia terdiri atas empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan angin.
Kelompok
ketujuh terdiri atas pembawa enam wadah masing-masing berisi nasi uduk
(nasi berasa gurih), tumpeng jeneng, dan nasi putih.
Rombongan ini
melambangkan bahwa bayi yang baru lahir perlu diberi nama (jeneng) yang
baik dengan harapan kelak akan menjadi orang yang berguna.
Kelompok
kedelapan terdiri atas empat buah meron (semacam baki besar yang
dipikul) berisi bermacam-macam makanan hidangan untuk peserta Asrakalan
di Langgar Agung, disusul empat dongdang (pikulan besar berbentuk rumah-
rumahan) yang juga berisi berbagai macam lauk-pauk dan makanan kecil
untuk hidangan peserta Asrakalan.
Kelompok terakhir atau kesembilan
adalah rombongan para sentana wargi (kerabat keraton), nayaka (tetua
atau sesepuh), dan para undangan yang ingin mengikuti langsung upacara
Asrakalan di Langgar Agung.
Upacara Asrakalan adalah rangkaian
terakhir dari upacara Panjang Jimat. Asrakalan dilaksanakan di dalam
Langgar Agung dan berisi pembacaan Kitab Barzanzi dan membaca Shalawat
Nabi. Asrakalan dilangsungkan sampai tengah malam. Setelah usai,
rombongan kembali membawa perangkat upacara ke dalam keraton untuk
disimpan dan siap digunakan lagi tahun depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar