Senin, 15 April 2013

Sejarah Desa Gebang

 

Keraton Gebang



Pangeran Wirasuta adalah putra Pangeran Pasarean, Putra mahkota kesultanan Cirebon. Menjelang usia tua, Pangeran Wirasuta menetap disekitar pantai Laut Jawa bersama putranya yang gagah dan cakap bernama Suta bergelar Pangeran Sutajaya Wira Upas.

Pangeran Sutajaya mendapat tugas dari Sultan Cirebon untuk membabad alas roban, hutan yang terkenal sangat angker karena banyak dedemitnya. Pelaksanaan tugas tersebut dibantu oleh pusakanya yaitu sebuah keris yang bernama Setan Kober dan dibantu pawongan dari bangsa jin yang bernama si Lorod. Konon si Lorod bukan tunduk kepada Pangeran Sutajaya, tetapi takut kepada pusaka keris Setan Kober.

Setelah selesai meleksanakan tugas membabad alas roban, Pangeran Sutajaya diberi hadiah Sultan berupa tanah. Tanah tersebut banyak ditumbuhi pohon gebang. Sesuai dengan cita-cita ramandanya yang ingin menyebarluaskan agama Islam di Cirebon bagian Timur, tanah itu dijadikan pedukuhan yang diberi nama GEBANG.

Cita-cita ayahandanya terlaksana, Gebang menjadi sangat terkenal kemana-mana dan terus berkembang terutama ke arah bagian selatan sehingga sampai ke daerah Ciawi – Kuningan, sehingga kemudian Ciawi disebut Ciawigebang.

Pada masa keemasannya, Pangeran Sutajaya dapat membuat sebuah keratin yang keberadaannya dapat menandingi Keraton Kesultanan Cirebon yang dibangun Pangeran Cakrabuana, bahkan pamornya lebih berwibawa. Keraton yang diberi nama Gebang Larang tersebut akhirnya di rubuhkan kembali setelah Sultan Cirebon bertandang ke Gebang atas laporan Pangeran Kesuma putra Pangeran Losari. Peristiwa tersebut terjadi kira-kira pada abad ke 16. Sejak saat itulah diwilayah Cirebon dilarang membangun keratin selain Keraton Kesultanan Cirebon. Oleh Karena itu di Gebang hanya ada kefamilian saja bukan suatu kesultanan.


Sisilah kefamilian Gebang sebagai berikut :
-         Pangeran Sutajaya Wira Upas
-         Pangeran Sutajaya Seda Ing Demung
-         Pangeran Sutajaya Nata Manggala
-         Pangeran Sutajaya Tambak
-         Pangeran Sutajaya Dalem Grogol
-         Pangeran Sutajaya Dalem Kebon
-         Pangeran Sutajaya Dalem Anom
-         Pangeran Sutajaya Akhir
Desa-desa yang ada di daerah pantai utara Kecamatan Babakan semula asalnya dari suatu pedukuhan Gebang.

Muludan

Muludan






Muludan artinya merayakan mulud yang berasal dari bahasa arab Maulid yang artinya kelahiran. Bulan ini adalah kelahiran Kanjeng Rasulullah Muhammad saw pada tanggal 12 Robi'ul Awal. Bulan Mulud adalah bulan ke tiga dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Di bulan ini biasanya ramai terutama di pusat pemerintahan dijaman Kasultanan Cirebon.


Seperti di kraton-kraton lainnya di tanah Jawa, di Cirebon juga diadakan acara yang dinamakan Grebeg Mulud yang lebih dikenal dengan sebutan "Panjang Djimat". Acara ini diadakan oleh tiga Keraton, yaitu Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan pada tepat tgl 12 Mulud. Acara ini cukup cukup menarik perhatian masyarakat terutama masyarakat di sekitar kota Cirebon.

Suasana acara Panjang Djimat seolah-olah melambangkan kehamilan dan kelahiran yang di ekspresikan dengan simbol-simbol. Kelahiran dari Rasulullah Muhammas saw. Prosesi Panjang Djimat diawali dari Keraton yang nantinya diiringi iring-ringan yang membawa Panjang Djimat dan beberapa pusaka dari Bangsal Agung Panembahan ke Langgar Agung pada tepat pukul Sembilan malam dan kemabli pukul sebelas ke Bangsal Agung Panembahan. Di Langgar Agung sebelum kembali ke Bangsal Agung diadakan acara Aysraqalan yang di pimpin oleh Penghulu Keraton. Sega Rasul (Panjang Rasul) kemudian akan di bagikan kepada yang hadir disitu dan biasanya orang-orang akan berebutan untuk mengambil bagian walaupun hanya sedikit, yang mereka yakin mengandung Barakah. Persiapan semua prosesi dimulai dari hari ke limabelas bulan Sura dengan membersihkan beberapa bagian Keraton dan pusaka-pusaka yang di lakukan oleh para abdi dalem (orang-orang yang mengabdi ke keratin tanpa di bayar).

Panjang Djimat sendiri berupa piring lodor besar buatan china yang berdekorasi Kalimat Syahadat bertulisakan huruf Arab yang diyakini dibawa langsung oleh Sunan Gunung Djati. Sebanarnya acara panajng djimat ini sendiri hanya mengingatkan kita bahwa Panjang Djimat berarti; Panjang berarti dawa (panjang) tak berujung, Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat). Artinya tulisan Syahadat yang tertulis di piring tersebut supaya selalu kita pegang selamanya sebagai umat muslim hingga akhir hayat.

Iring-iringan itu sendiri pada dasarnya melambangkan moment kelahiran Nabi Muhammad saw. Dianataranya ada 19 bagian penting dalam iring-iringan tersebut. Satu bagian diikuti oleh bagian lainnya dan masing-masing bagian ada seorang yang membawa lilin-lilin. Pertama seorang pria yang membawa sebatang lilin di tangannya yang berperan sebagai pelayan (Khadam) berjalan memberikan cahaya ke bagian kedua diikuti dua orang pria. Salah seorang pria membawa sesuatu yang menggambarkan sosok Abu Thalib (paman Rasul) dan pria kedua menggambarkan Abdul Al0Muthalib (kakek Rasul). Mereka berjalan di malam hari untuk di berikan ke midwife. Selanjutnya ada salah satu grup pria yang membawa dekorasi yang di sebut Manggaran, Nagan dan Jantungan yang melambangkan kebaikan Abdul Al-Muthalib, Seorang wanita membawa Bokor Kuningan yang terisi dengan koin-koin didalamnya yang melambangkan sifat ibu Rasul, selanjutnya diikuti seorang wanita yang membawa nampan yang terdiri dari botol berisi Lenga Mawar (distilasi bunga mawar) yang melambangkan Air Ketuban. Sebuah nampan yangh terdiri dari kembaang Goyah, Obat tradisonal melambangkan Plasenta. Penghulu Keraton bertindak seolah-olah memotong ari-ari.

Selanjutnya inti dari Panjang Djimat tersbut terdiri dari dua belas acara yang melambangkan 12 Rabi'ul Awwal atau Mulud yang merupakan hari kelahiran Rasulullah yang misinya membawa Kalimat Syahadat. Masing-masing piring dibawa oelh dua orang yang di iringi dua orang pengawal, semua yang membawa piring-piring tersebut di biasa dipanggil Kaum Masjid Agung, Panjang Djimat adalah tujuh angka penting. Kalimah Syahadat membawa setiap orang untuk menuntun ke tujuh tingkatan atau di Cirebon dikenal dengan Martabat Pitu yang merupakan doktrin dari tarek Syattariyah. Kembali ke prosesi ada dua orang pria yang membawa sejenis termos yang berisi bir untuk mengumpulkan darah setelah melahirkan, diikuti dua orang pria yang masing-masing membawa nampan dengan botol yang berisi jenis bir yang lain yang melambangkan kotoran saat melahirkan. Sebuah pendil yang berisi Sega Wuduk (nasi uduk) di bawa oleh seorang pria yang melambangkan betapa susahnya saaat melahirkan. Selanjtnya diikuti dengan Nasi Tumpeng dengan bekakak ayam yang di sebut dengan Sega Jeneng yang melambangkan Syukuran (Selametan) lahirnya seorang bayi. Selametan pada saat di berikan nya nama untuk seorang bayi yang biasanya pada saat ari-ari sang bayi mongering dan lepas (Puput). Tiga bagian terakhir pertama adalah delapan Cepon (wadah yang terbuat dari bambu) yang melambangkan delapan sifat Rasul. Empat sifat pertama adalah Sidiq (Cerdas), Amanah (Dipercaya), Tabligh (Menyampaikan), Fathonah(pintar), kempat sifat ini disebut sifat Wajib yang dimiliki Rasul. Dan keempat lainnya adalah sifat yang tidak dimiliki oleh Rasul yaitu Kidzib, Khianat, Kitman dan Baladah. Masing-masing Cepon penuh dengan beras yang menandakan Kemakmuran dan Yang Maha Kuasa memberikan naungan keseluruh alam (Rahmatan lil-'Alamin). Selanjutnya diikuti empat buah Meron atau Tenong (wadah besar bebentuk bundar) menandakan manusia terdiri dari empat elemen, Tanah, Air, Udara dan Api. Ada sumber yang mengatakan bahwa keempatnya adalah empat sahabat kalifah Abu Bakr, Umar, Ustman dan Ali. Selanjutnya diakhiri dengan empat Dongdang (wadah besar) yang melambangkan spiritual manusia yang terdiri dari Ruh, Kalam, Nur dan Syuhud yang nenandakan Keagungan Tuhan. Ada juga yang mengatakan keempat-empatnya adalah melambangkan empat Madzhab: Maliki, Syafi'I, Hanafi dan Hanbali.


Beberapa daerah juga merayakan acara Muludan ini dengan prosesi yang berbeda, akan tetapi biasanya acara membersihkan pusaka yang disaksikan oleh khalayak ramai seperti di Astana Gunung Djati pada tanggal 11, di Desa Panguragan pada tanggal 12, di desa Tuk pada tanggal 17 dan desa Trusmi pada tanggal 25 di bulan Maulud ini.

Panjang Djimat

Panjang Djimat CIREBON

 http://indahnesia.com/Images/Information/JAB/JAB_panjang_jimat.jpg

UPACARA pelal Panjang Jimat sendiri merupakan puncak dari seluruh rangkaian berbagai acara tradisi yang berlangsung di Keraton Kesultanan Kasepuhan, Keraton Kesultanan Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Pelal adalah kata dalam bahasa Jawa Cirebon yang berarti ujung atau akhir.

Seperti daerah lainnya di Pulau Jawa yang memiliki akar budaya tradisi di keraton, peringatan Muludan di Cirebon juga digelar secara meriah sejak sebulan sebelumnya dalam bentuk pesta rakyat dan pasar malam di alun-alun setiap keraton.
PUNCAK dari seluruh rangkaian acara tersebut adalah upacara pelal Panjang Jimat yang diselenggarakan langsung oleh kerabat utama keraton dan dipimpin oleh sultan masing- masing.

Bagi yang pertama kali mendengar mengenai ritual Panjang Jimat ini pasti menduga upacara tersebut melibatkan sebuah jimat atau pusaka milik keraton yang ukurannya panjang. Mungkin senjata sejenis tombak atau semacamnya yang terlintas di kepala.
Padahal, sesungguhnya ritual Panjang Jimat sama sekali tidak berhubungan dengan pusaka atau jimat apa pun, apalagi yang berbentuk gaman atau senjata.

  

Dari seluruh prosesi iring- iringan ritual tersebut, tidak satu pun perangkat upacaranya berupa senjata pusaka, melainkan berbagai jenis makanan, makanan kecil, dan minuman.
Penguasa Kesultanan Kasepuhan, Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, menjelaskan, nama Panjang Jimat terdiri atas dua kata, yakni "panjang" yang artinya terus-menerus tanpa terputus dan "jimat" yang merupakan akronim dalam bahasa Jawa: siji kang dirumat (satu yang dipelihara).

Menurut Sultan Sepuh, jimat yang dimaksud adalah dua kalimat syahadat yang menjadi pegangan utama umat Muslim sedunia. "Jadi, makna Panjang Jimat adalah pesan kepada setiap umat Islam untuk selalu berpegang kepada dua kalimat syahadat selamanya, terus-menerus tanpa terputus," papar Sultan Maulana Pakuningrat.
PELAKSANAAN puncak upacara Panjang Jimat sendiri dimulai sekitar pukul 20.00 dan dilangsungkan di Bangsal Panembahan dan Bangsal Prabayaksa, dua ruang utama Keraton Kasepuhan.

Di Bangsal Panembahan yang merupakan ruangan paling sakral di keraton, para ulama dan kyai berdoa. Sementara Bangsal Prabayaksa adalah tempat Sultan dan seluruh keluarganya serta para tamu undangan mengikuti upacara.

Di Bangsal Prabayaksa itu, Sultan Sepuh menyerahkan Payung Agung Kesultanan Kasepuhan kepada Putra Mahkota Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat sebagai simbol penyerahan wewenang dan tanggung jawab untuk memimpin seluruh prosesi iring-iringan upacara, dari Bangsal Prabayaksa menuju Langgar Agung di halaman depan keraton.


 
Setelah payung kebesaran diserahkan, satu demi satu perlengkapan upacara dikeluarkan dari Keputren dan Bangsal Pringgadani untuk disemayamkan sejenak di Bangsal Prabayaksa sebelum dibawa dalam sebuah prosesi menuju Langgar Agung.
Di Keraton Kasepuhan, prosesi Panjang Jimat terdiri atas sembilan kelompok, yang masing-masing memiliki makna tersendiri berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Kelompok pertama terdiri atas para punggawa dan pengawal keraton yang membawa obor serta payung.
Kelompok pertama ini menggambarkan kesiapan Abdul Mutholib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang siap siaga menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Obor melambangkan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada malam hari.

Kelompok kedua adalah kelompok perangkat upacara yang membawa manggaran, nagan, dan jantungan (semacam hiasan upacara terbuat dari logam berwarna keemasan, berbentuk seperti manggar atau tangkai bunga kelapa, ular naga, dan jantung pisang).
Perangkat upacara tersebut menggambarkan kebesaran dan keagungan bayi yang hendak lahir. Dalam kelompok kedua juga terdapat pembawa air mawar dan pasatan (sedekah) yang melambangkan kelahiran seorang bayi selalu didahului pecahnya air ketuban dan disyukuri dengan memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Kelompok ketiga terdiri atas Putra Mahkota yang mewakili sultan dengan dinaungi Payung Agung Keraton dan diiringi para sesepuh keraton.
Kelompok ini menyimbolkan bayi yang baru lahir dan kelak akan menjadi seorang pemimpin besar.

Selanjutnya disusul kelompok keempat yang dipimpin oleh Kyai Penghulu dan rombongan pembawa kembang goyang yang melambangkan keluarnya ari-ari sebagai pengiring kelahiran dan boreh atau sejenis jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan guna menjaga kesehatannya. Kelompok ini juga diiringi tujuh pembawa nasi rasul panjang jimat, yaitu nasi yang diwadahi dalam bakul-bakul dan ditutupi menggunakan kain mori putih. Bilangan tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu.
Kelompok keempat disusul kelompok kelima yang membawa sepasang guci yang berisi minuman serbat. Minuman tersebut melambangkan darah sebagai tanda bahwa kelahiran telah usai.

Di belakangnya menyusul kelompok keenam yang membawa empat baki berisi botol-botol minuman serbat.
Angka empat melambangkan bahwa manusia terdiri atas empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan angin.

Kelompok ketujuh terdiri atas pembawa enam wadah masing-masing berisi nasi uduk (nasi berasa gurih), tumpeng jeneng, dan nasi putih.
Rombongan ini melambangkan bahwa bayi yang baru lahir perlu diberi nama (jeneng) yang baik dengan harapan kelak akan menjadi orang yang berguna.

Kelompok kedelapan terdiri atas empat buah meron (semacam baki besar yang dipikul) berisi bermacam-macam makanan hidangan untuk peserta Asrakalan di Langgar Agung, disusul empat dongdang (pikulan besar berbentuk rumah- rumahan) yang juga berisi berbagai macam lauk-pauk dan makanan kecil untuk hidangan peserta Asrakalan.
Kelompok terakhir atau kesembilan adalah rombongan para sentana wargi (kerabat keraton), nayaka (tetua atau sesepuh), dan para undangan yang ingin mengikuti langsung upacara Asrakalan di Langgar Agung.

Upacara Asrakalan adalah rangkaian terakhir dari upacara Panjang Jimat. Asrakalan dilaksanakan di dalam Langgar Agung dan berisi pembacaan Kitab Barzanzi dan membaca Shalawat Nabi. Asrakalan dilangsungkan sampai tengah malam. Setelah usai, rombongan kembali membawa perangkat upacara ke dalam keraton untuk disimpan dan siap digunakan lagi tahun depan

Sejarah Cirebon





Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.

Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.

Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.

Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.


 

Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang.

Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.

Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.

Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.

Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.

Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh datuk Kahfi.

Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati Puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri Sahabat Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam disana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin , kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullahpun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sedjak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.

Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.

Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.

Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.

Nama-nama tempat & Jalan Di Cirebon


Nama-nama tempat dan jalan di cirebon menyesuaikan tempat kegiatan atau kejadian di daerah waktu itu. Kemungkinan dulu orang sangat susah untuk menentukan atau menyebutkan alamat seseorang. Hingga saat ini pun nama-nama tersebut tetap abadi hanya beberapa tempat sudah berubah nama daerah dan jalannya.

Pasuketan
Dahulu daerah ini tempat Andong/Delman ngetem sehingga banyak sekali rumput di tumpuk/dikumpulkan di daerah ini

Pejlagrahan
Ini lah nama tempat pertama Pangeran Walangsungsang membangun pedukuhan di Cirebon dan disini pula terdapat masjid tertua di Cirebon dengan nama Masjid Pejlagrahan.

Pegajahan
Belum jelas kenapa di sebut pegajahan. Mungkin dahulu tempat kandang gajah kraton

Pulasaren

Pagongan
Tempat pembuat dan pengrajin gong

Prujakan
Banyak orang yang jualan rujak disini

Karanggetas
Dahulu pada saat syeh magelung datang ke tanah cirebon beliau mencari orang yang sakti untuk memotong rambutnya. Karna saking panjangnya rambutnya di gelung/diiket oleh karena itu beliau di sebut Syeh Magelung. Saat itu juga bertemu dengan Sunan Gunung Djati. Dengan menggunakan tangannya Sunan dapat memotong rambut. Dan kejadian itu konon di jalan Karang getas sekarang ini

Panjunan
Tempat rumah dan Masjid Pangeran Panjunan

Pandesan

Kepatihan
Tempat tinggal Pangeran Patih

Pekawatan

Cangkol

Kebumen

Kacirebonan
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan Kacirebonan beserta keturunan nya. Keraton Kacirebonan ini merupakan pecahan dari Kasultanan kanoman.

Kaprabonan
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan Kaprabonan beserta keturunan nya. Keraton Kaprabonan juga merupakan pecahan dari Kasultanan kanoman.

Kanoman
Kraton sebagai tempat tinggal para Raja-raja Kanoman dan keturunan nya

Kalijaga
Konon dulu Sunan Kalijaga pernah bersemadi di daerah ini pada saat mempersiapkan pembangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa sehingga tempat ini dikenal dengan nama Kalijaga

Kesambi

Kesunean

Pegambiran

Kesenden

Kegiren

Berwisata ke Cirebon Kota Udang

Bagi yang sedang bingung ingin kemana. hmm.... Kota Cirebon yang terletak di jalur utara pulau jawa bisa kok jadi pilihan yang menarik.

Ketika memasuki kota udang ini sudah dapat ditemui sebuah sungai dengan nama yang cukup menarik yaitu sungai sukalila. sungai ini memiliki arti sukarela yang konon ada orang Arab (Syeh Magelung Sakti*) yang rambutnya tak bisa dipotong dan dateng ke jawa untuk mencari orang sakti yang dapat memotong rambutnya. Nah pada saat itu Kanjeng Sunan Gunung Jati yang sedang menyamar menjadi rakyat biasa memberikan bantuan secara sukarela dan dengan kesaktiannya dia bisa memotong rambutnya.



Kunjungan pertama dalam wisata kali ini adalah Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Mesjid ini dibangun oleh walisongo pada tahun 1498 atas prakasa Kanjeng Ssunan Gunung Jati. Nama mesjid ini diberikan karena merupakan pengewantahan dari rasa dan kepercayaan. Masuk dalam mesjid ini ternyata ada beberapa hal yang unik dan perlu diketahui dari mesjid ini.
Satu, ada sumur yang tak pernah kering meskipun di tengah kemarau dimana zaman dahulu ketika sungai yang lainnya kering, warga datang ke tempat ini untuk mengambil airnya.
Dua, ada penanda waktu untuk melakukan azan alias menggunakan jam matahari. Ane pikir jam matahari hanya ada di eropa.
Tiga, pas adzan yang membacakan doanya 7 orang sekaligus dan masih dilakukan setiap jumatan untuk melestarikan tradisi.
Konon tiap kali membacakan doa (1 orang) beberapa hari berikutnya orang tersebut meninggal jadi dilakukan bersama-sama.

Empat, anda bisa melihat beberapa ukiran-ukiran yang mana salah satunya adalah motif bendera Tjirebon.





Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Keraton Kesepuhan. Jarak keraton ini dengan Mesjid Agung Sang Cipta rasa kira-kira 50 meter. Disini, akhirnya dapat diketahui bahwa tata kota telah ada sejak dahulu. Ketika kita berada di pintu masuk ke Keratonan, Kita akan melihat bahwa di sebelah kanan terdapat pasar (untuk pemenuhan kebutuhan hidup), di tengah terdapat alun-alun (kehidupan sosial), dan di sebelah kiri adalah mesjid (kebutuhan rohani) dan keraton sebagai pusat pemerintahan. Keraton yang didirikan pada tahun 1452 menyimpan pedati terbesar se-Indonesia. Keraton ini dulunya bernama Keraton Pangkuwati. Namanya berubah sejak didirikan keraton Kanoman. Di dalam keraton ini ada obyek pemotretan yaitu dua ekor macan di atas batu yang merupakan simbol dari keterkaitan Tjirebon dan Padjajaran. Masuk ke dalam keraton ini bisa ditemui bangku dan kursi made in cirebon dengan design made prancis. Untuk yang ingin mengetahui isi Alkitab dan males bacanya bisa dilihat di tembok-temboknya ada gambar-gambar yang menggambarkan isi alkitab tersebut. Akan tetapi pemasangannya tidak beraturan. Oyah tak lupa ada juga gambar buah manggis dan buah delima. Yuk kita telusuri lagi ke bagian dalam keraton ini ternyata banyak pendopo-pendopo. Disini ada bagian yang mana wanita tidak diperbolehkan masuk ( hehehe berbahagialah para pria). Konon Sunan Gunung Jati ketika udah beristri masih ada yang melamar lohhhh.... ceweknya katanya sih dari negeri Tiongkok dan High Qualified alias udah cantik, gadis, pinter, kaya, anak raja dan sukarela pula. Kurang apa lagi jadi yang berminat banyak yang naksir ke kolam pancing ajah yah ( hehehehe nda jelas). Ok sekarang kita PINTONG alias (pindah tongkrongan)...

Tongkrongan selanjutnya adalah Keraton Kanoman. Di sini ada kereta yaitu kereta paksi naga liman ( Kendaraan Sultan) dan Kereta Jempana ( Untuk Permaisuri). Pada hari jadi Tjirebon di tempat ini biasanya ada upacara pembacaan Babat Cirebon. Btw ngomong-ngomong tentang kereta, di keraton kesepuhan juga ada kereta singa barong. Kereta ini merupakan gabungan dari tiga hewan dan tiga kebudayaan. Hewan-hewannya adalah naga, gajah dan garuda. Naga (budaya Tiongkok) melambangkan kelincahan, kecerdikan dan kekreatifitas. Gajah (budaya india dan arab) melambangkan kekuatan dan garuda (buda india dan arab juga) melambangkan kecepatan dan kekuatan. Oyah sebelum lupa di belalai gajahnya terdapat senjata trisula yang menyimbolkan tiga ketajaman yaitu cipta, rasa dan karsa.

Keraton KeCirebonan yang merupakan perjalanan selanjutnya disebut juga keraton para pemberontak dan para seniman. Jadi konon pada zamannya kompeni dateng ke cirebon si penguasa Cirebon Sultan Sepuh 1 tidak suka sama kompeni jadi banyak sekali pemberontakan-pemberontakan (zaman ini belon ada keraton kecirebonan). Jadi inilah cerita dibalik berdirinya keraton kecirebonan, Sultan Sepuh 1 punya istri tapi tak punya anak, selirnya punya anak cowo dan ganteng pula (dipati Anom). Jadi siapa raja selanjutnya dapat diketahui khan. Setelah sekian lama istri dengan doanya akhirnya melahirkan anak cowo (pangeran Aria Cirebon). Ribettttt deh..... Yah sok pokoknya pada akhirnya Aanak pangeran Aria Cirebon menagih bla2x,... sehingga didirikannya keraton kecirebonan. Untuk tahu pastinya baca sendiri sejarahnya yah. Ada dua hal yang perlu diketahui yaitu keraton ini berfungsi sebagai tempat tinggal dan masih berfungsi hingga saat ini. Kedua karena anak dari selir telah dijadikan sultan dan tidak diperbolehkannya ada dua sultan maka nama sultan untuk anak dari permaisuri bisa dianggap ada dan bisa dianggap tidak, makanya jadi pangeran. Balik lagi keraton ini disebut sebagai keraton seniman karena banyak seniman yang berguru di keraton ini dan ada sanggar gamelan dan budaya lainnya. Dahulu kesenian Tjirebon pernah go internasional akan tetapi saat ini tenggelam kembali dan dahulu pula ada orang bule yang dapet gelar master musik gamelan dan belajarnya di keraton kecirebonan ini (sebagai informasi ajah).




Hari kedua pejalanan pertama menuju ke Tamansari Gua Sunyaragi. Sunyaragi berasal dari kata sunya yang berarti sepi dan ragi yang berarti jasmani. Jadi gua yang didirikan pada abad 15 ini bisa diketahui fungsinya yaitu tempat untuk istirahat dan meditasi para sultan dan pada tempat ini pula digunakan untuk latihan perang. Tempat ini adalah tempat favorit gue untuk foto-foto karena tempatnya bagus. Perjalanan dilanjutkan ke Kelenteng Dewi Welas Asih Tio Kak Sie. Ternyata di Tjirebon ada klenteng atau vihara juga. Di kelenteng ini banyak sekali yang menarik. Pertama banyak dewa-dewanya dimulai dari dewi Quan Im, dewa laut, dewa bumi, dewa walikota, dewa dagang dan masih banyak lagi. Kedua di tembok-temboknya ada gambar yang menceritakan tentang tiga kerajaan kata yang ngurus kelentengnya. Ketiga ada sebuah jangkar yang dianggap salah satu jangkar milik Ceng Ho. Guede banget sekitar 3,5 meter tingginya. Ini adalah akhir dari perjalanan ke tempat sejarahnya.

Obyek dan Daya Tarik Wisata Cirebon









Makam Sunan Gunung Jati
Dihiasi dengan keramik buatan Cina jaman Dinasti Ming. Di komplek makam ini di samping tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati juga tempat dimakamkannya Fatahilah panglima perang pembebasan Batavia. Lokasi ini merupakan komplek pemakaman bagi keluarga Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon.


T r u s m i
Sentra batik tradisional Cirebon yang memiliki motif khas Cirebonan. Terletak 9 Km dari Ibukota Cirebon ke arah utara (di desa Trusmi, Kecamatan Weru). Di samping itu terdapat juga makam Ki Buyut Trusmi yaitu salah seorang tokoh penyebar Agama Islam di Wilayah Cirebon.


Makam Nyi Mas Gandasari
Salah seorang murid Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran Agama Islam, terkenal dengan kemampuan ilmunya yang tiada tanding. Terletak di desa Pangurangan Kecamatan Panguragan atau 27 Km dari Ibukota Sumber.


Makam Syekh Magelung Sakti
Merupakan salah satu seorang pendekar yang dapat mengalahkan Nyi Mas Gandasari dan disegani karena disamping sebagai salah seorang pendekar juga, beliau juga dikenal sebagai seorang yang berjasa dalam penyebaran Agama Islam ditanah Cirebon. Makam beliau terletak di desa Karang Kendal Kecamatan Kapetakan, 21 Km dari Ibukota Sumber.


Makam Talun
Disini tempat dimakamkannya Mbah Kuwu Cirebon yaitu salah seorang pimpinan tertinggi di wilayah Cirebon. Disamping sebagai tokoh masyarakat, beliau juga sangat disegani dalam ilmu pengetahuannya. Sehingga sampai saat ini masih banyak diziarahi oleh masyarakat Cirebon. Terletak di desa Cirebon Girang Kecamatan Cirebon Selatan 5 Km dari pusat Ibukota Sumber.


B e l a w a
Lokasi wisata ini berjarak kira-kira 25 km dari kota Sumber ke arah timur. Obyek wisata ini memiliki daya tarik dari kura-kura yang mempunyai ciri khusus di punggung dengan nama latin "Aquatic Tortose Ortilia norneensis."
Menyimpan legenda menarik tentang keberadaannya di desa belawa kecamatan sedong,. Menurut penelitian merupakan spesies kura-kura yang langka dan patut di lindungi keberadaannya. Obyek wisata ini di rencanakan untuk di kembangkan menjadi kawasan yang lebih lengkap Taman kura-kura (Turtle park) atau taman reptilia.Sektor suasta dapat bekerjasama dengan pemerinta kabupaten untuk pengelolaan taman kura-kura tersebut.


Situ Sedong
Terletak di desa Sedong sekitar 26 km dari arah pusat Ibukota Sumber, dengan luas lahan 62,5 Ha. Selain mempunyai panorama yang indah,situ ini juga di sebut pula situ pengasingan yang merupakan tempat rekreasi air dan pemancingan. pihak pemerintah kabupaten mengundang para investor untuk bermitra dalam pengelolaan wisata ini.


Banyu Panas Palimanan
Obyek wisata ini terletak di desa Palimanan Barat kecamatan Palimanan sekitar 16 km dari Cirebon ke arah Bandung. Obyek wisata ini merupakan pemandian air panas dengan kadar belerang yang di percaya dapat menyebuhkan penyakit kulit. Pemandian air panas ini ada di sekitar bukit Gunung Kapur Gunung Kromong yang mempunyai keistimewaan mata air selalu berpindah pindah. pihak investor di undang untuk mengembangkan lokasi ini untuk di jadikan wisata spa.


P l a n g o n
Obyek wisata plangon berlokasi di kelurahan babakan kecamatan sumber -+ 10 km dari kota cirebon.Tempat rekreasi dengan panorama alam yang indah yang di huni oleh sekelompok kera liar. Selain selain tempat rekreasi, terdapat juga makam

Pangeran Kejaksan dan Pangeran Panjunan
Puncak acaranya biasa di masa ziarah Plangon tgl 2 syawal, 11 Dzulhijjah dan 27 Rajab.Untuk pengembangan wisata ini meliputi lahan sekitar 10 Ha, dan status tanah ini milik Kesultanan. Kapasitas pengunjung rata-rata sekitar 58.000 pengunjung/tahun. Obyek ini cukup mempunyai prospek untuk di kembangkan , peluang terbuka untuk pengelola lokasi wisata dan wisata dan bangunan makam.


Lapangan GOLF Ciperna
Kawasan ini berada di tepi jalan raya Cirebon Kuningan dengan kontur tanah berbukit berjarak 5 km ke selatan dari kota Cirebon, berada pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Daya tarik utama kawasan ini adalah keindahan pemandangan kota Cirebon dengan latar belakang laut lepas ke arah utara, sedangkan ke arah selatan Gunung Ciremai di suasana yang menarik. Berdasarkan perda nomor 25 tahun 1996, kawasan wisata Ciperna ditetapkan seluas 300 Ha yang di pertunjukan bagi 5 (lima) ruang kawasan pengembangan antara lain:
Kawasan wisata Agro Griya Pembangunan Agro Griya dalam bentuk rumah kebun yang dapat di sewakan dengan fasilitas Hotel Bintang.
Kawasan wisata Agro Tirta. Pembangunan Agro Tirta dalam bentuk pembuatan danau buatan yang di lengkapi rekreasi air.
Kawasan Agro Wisata I dan Kawasan Agro Wisata II. Agro wisata I dan II di arahkan dalam bentuk pembangunan kawasan perkebunan mangga gedong gincu, srikaya, atau tanaman jenis lainya. Di samping itu membangun track olah raga yang dapat menyesuaikan dengan kontur tanah sekitarnya.


Situ Patok
Luas Situ Patok 175 Ha yang terletak di desa setu patok sekita 6 km dari kota Cirebon ke arah Tegal, obyek wisata ini selain mempunyai panorama indah juga tersedia sarana rekreasi air dan pemancingan. Lokasi ini berpotensi untuk di kembangkan sekitar lahan 7 Ha, dengan status tanah negara . prasarana yang di perlukan pembuatan dermaga, pengadaan prahu motor dan sarana pemancingan. serta pembangunan rumah makan yang arstistik.jalan ke arah lokasi cukup baik dan lebar, jaringan aliran listrik sudah tersedia dan saat ini minat masyarakat untuk mengunjungi wisata ini cukup banyak


Cikalahang
Kawasan Cikalahang merupakan kawasan yang baru berkembang dengan daya dukung alam. sasaran wisatawan pada awalnya adalah obyek wisata Telaga Remis yang di kelola oleh perum perhutani KPH Kuningan dan berada di wilayah Kuningan. Hingga saat ini kawasan Telaga Remis masih menarik wisatawan yang dapat di andalkan dari segi income. Akan tetapi jalan menuju obyek wisata ini adalah melalui desa Cikalahang yang berada di wilayah Kabupaten Cirebon,sehingga keberadaan memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar usaha lain sebagai daya pendukung. Di samping itu juga kawasan Cikalahang telah berkembang menjadi suatu kawasan yang mempunyai daya tarik sendiri yaitu dari usaha restoran/rumah makan ikan bakar. Dengan banyaknya peminat menjadi wilayah itu berkembang pesat menjadi daya tarik wisata makan, sehingga pada hari-hari libur penuh dikunjungi wisatawan.
Menjual keadaan alam yang menarik dengan sumber air dari kaki Gunung Ciremai yang tidak pernah kering, sangat memungkinkan untuk membuka peluang usaha kolam renang yang bersifat alami dengan fasilitas modern serta bumi perkemahan.
Kawasan wisata Cikalahang terletak sekitar 6 km dari Ibukota Kabupaten Cirebon di Sumber dan 1 km dari jalan alternatif Cirebon Majalengka dengan dengan lingkungan alam yang masih asri.


Wanawisata Ciwaringin
Hutan wisata dengan menampilkan keindahan alam dan banyak ditumbuhi oleh pohon kayu putih. Menyediakan lokasi bagi para penggemar jalan kaki dan arena motor cross. Di lokasi ini juga terdapat danau Ciranca bagi penggemar memancing. Berlokasi di desa Ciwaringin Kecamatan Ciwaringin, 17 Km dari Ibukota Sumber.